Arif dan bijaksana, inilah sosok Karaeng Pattingalloang dan wasiat untuk pemimpin bangsa

Dimata anak muda zaman sekarang, mungkin masih banyak yang belum kenal dengan Karaeng pattingalloang atau mungkin sama sekali belum pernah mendengar nama Beliau. Padahal hampir setiap hari kita mengitari kota Makassar dari ujung sudiang hingga cendrawasih, yang melewati jalur jalan Tello-Tamalate. Maka perlu cerita sejarah untuk mengingatkan kita kembali tentang sosok seorang Karaeng pattingalloang. Siapakah beliau..???

Artikel lainnya :
Untuk mengakhiri Perang Dunia ke-2, inilah sosok pilot yang menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima
Namanya tidak populer, namun inilah sosok penemu Sistem Aplikasi Android yang kini menjadi raksasa di Smartphone
Mengenal sosok KH. Ambo Dalle dan sejarah terbentuknya Darud Dakwah wal Irsyad (DDI)

Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX (1639-1654).

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak
Karaeng Pattingolloang juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan  negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
  1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
  2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
  3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
  4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
  5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
  1. Apabila raja yang memerintah tidak  mau lagi dinasehati atau diperingati,
  2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
  3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
  4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
  5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.


Dari pesan Karaeng Patingalloang , dapat menjadi sebuah bahan renungan buat generasi muda dan para pemimpin bangsa saat ini. Negara ini bukan milik kita, melainkan sebuah titipan dari para pahlawan yang telah berkorban demi tegaknya sang Merah Putih disepanjang Nusantara untuk selalu kita jaga. Mudah-mudahan amanah ini dapat dijalankan oleh generasi muda dan para pemimpin bangsa.

SHARE THIS

Author: