Dulunya adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kertanegara yang terbentang luas dari Sangkulirang (utara) hingga sekitar Sungai Teleke (selatan), kemudian mencakup wilayah daerah pegunungan Batu Ayam, Pegunungan Meratus, hingga wilayah Paser (Penajam). Termasuk wilayah-wilayah sepanjang garis sungai besar Mahakam seperti Ibukota Kalimantan Timur sekarang, yaitu Samarinda yang ditetapkan sebagai hari jadi pada 21 Januari 1668.
Konon La Maddukelleng merupakan seorang perantau Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan yang berlayar ke Kalimantan Timur. Menetap dan menikah dengan seorang putri Kerajaan Paser, membuat banyak pemuda-pemudi Wajo (Sulawesi Selatan) yang merantau mengikuti jejak La Maddukelleng di Paser. Karena jumlah semakin banyak dan ramai, La Maddukelleng memutuskan untuk mencari pemukiman baru dan dipimpin La Mohang Daeng Mangkona, warga Wajo menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura.
Hingga akhirnya terjadi sebuah kesepakatan antara La Mohang dan Raja Kutai untuk menempati wilayah dataran rendah yang terdapat sungai yang airnya mengalir dan berputar diantara daratan itu dan patuh terhadap Kerjaan Kutai.
La Mohang bersama warga Wajo berlayar sepanjang Sungai Mahakam dan berada disuatu tempat. Ditempat inilah mereka membangun sebuah rumah sakit yang berada diatas air sekitar muara Sungai Mahakam. Dengan Rumah Sakit yang berada diatas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat antara Bangsawan dan masyarakat biasa. Semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada diatas muara sungai dan kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Wilayah pemukiman itu disebut "Samarenda" yang berasal dari kata "sama" dan "rendah" yang kemudian berubah menjadi Samarinda.
Samarinda yang kini menjelma menjadi Kota Besar sekaligus Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur. Tidak lepas dari legenda, penduduk Ibu Kota Samarinda mayoritas merupakan perantauan khususnya masyarakat Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan. Sangat kental akan adat istiadat dan budaya masyarakat perantau dari berbagai Pulau di Nusantara, membuat keberagaman menjadi satu paduan budaya nasional.