Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama
kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan
es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk
pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari
ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya
istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh
capek sekali dan kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan
kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan
saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah
berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30
saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang.
Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci.
Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya. Terlihat lagi semua
baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, tentu itu dilakukan juga oleh suami saya. Kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam?, demikian fikirku. Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap suami saya sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya suami saya terlalu lelah, hingga tak
sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya
itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, suami saya demam, tinggi
sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya
disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes,
air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.
Pendapatan suami saya tidak seberapa dan sangat berbeda jauh dengan gaji saya, hanya sekitar 600-700 rb/bulan.
Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat
durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah
pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya
dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia
selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat
keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah
katanya. Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong dan durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan
saya yakin hampir tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah ini”
Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja,
mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa harta, dan karena
harta juga wanita sering lupa kodratnya.
Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan
menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara
saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai
dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan
yang lain.
Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa
aku bisa seperti dia Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela
meninggalkan pekerjaan.
“Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga
kan untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak
orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak
pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah
kita santai-santai aja di rumah", ungkap adik saya
"Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya
nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan
sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas
pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya
penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu
lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang
ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”, lanjut cerita dari adik saya.
Saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa
yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya
menangis karena imam saya sudah dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya,
padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?. Bagaimana
mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud
dimalam hari ?. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya ?. Bagaimana mungkin dia menghina orang
yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu
orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?. Bagaimana mungkin seseorang yang
begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah
pekerjaaan ?
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang
membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan
berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami
saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan
pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya,
karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti itu.
Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu
baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat
saya begitu bangga pada suami saya.
Suatu saat jika kamu mendapatkan suami seperti suami saya, kamu
tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suamimu pada orang lain. Bukan
masalah pekerjaannya, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada
Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya
terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas
ingin meninggalkanku.
Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda
motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak
ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu
meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Share in Facebook