Tidak hanya di Indonesia, ternyata tokoh-tokoh Bugis-Makassar ini telah lama terkenal di dunia

Pada tahun 1513, Tome Pires dalam catatan perjalanannya menggurat tentang sepak terjang orang suku Bugis Makassar di Nusantara dan Dunia. Garis besar catatannya adalah Bugis Makassar orangnya gagah dan suka berperang serta banyak menyimpan bahan makanan. Mereka dikenal sebagai perampok yang paling besar di dunia pada masanya, kekuatannya besar dan perahunya banyak. Mereka berlayar untuk merampok dari negeri mereka sampai ke Pegsu, dan dari negeri mereka sampai ke Maluku, Banda dan semua pulau di sekitar Jawa.

Artikel lain :

Inilah beberapa jenis makanan yang baik untuk membantu mempercepat kehamilan  
Harus kamu ketahui, inilah faktor-faktor mengapa kamu tidak bisa jadi kaya  
Ada 7 alasan mengapa harus memilih pekerja tambang sebagai pasangan hidup  
Lazimnya kaum laki-laki memakai badik, dan mereka kuat-kuat. Mereka berlayar pulang-pergi dan ditakuti dimana-mana. Beberapa tokoh popular Bugis Makassar yang sangat dikenal diseantero nusantara dan kawasan Asia, antara lain :
Datuk Laksamana Raja Dilaut

Datuk Laksamana merupakan keturunan Bugis, dimana Daeng Tuagik, anak dari Sultan Wajok yang kawin dengan anak Datuk Bandar Bengkalis, Encik Mas (seorang perempuan yang berkuasa di pulau Bengkalis). Daeng Tuagik ketika menikahi Encik Mas telah berjanji untuk tidak memakai gelar Bangsawan Bugis bagi keturunannya.
Dari perkawinannya ia mendapat seorang anak yang bernama Datuk Bandar Jamal (1720-1767) yang kelak menggantikan ibunya sebagai penguasa Bengkalis. Gelar Datuk Laksamana Raja Dilaut baru diberikan Sultan Siak kepada Encik Ibrahim, anak dari Datuk Jamal serta tiga orang keturunannya, yang terakhir Encik Ali Akbar (1908-1928).
Hang Tuah

Hang Tuah adalah seorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan.
Nama asli Hang Tuah adalah Daeng Merupawah anak dari raja kerajaan bajung (Bajeng adalah salah satu kerajaan di kawasan kerajaan Gowa, Makassar). Sejak usia 12 tahun, dia dibawa ke kesultanan Malaka sebagai bentuk persahabatan kerajaan Gowa untuk dididik sebagaimana layaknya didikan kesultanan Malaka. Hang Tuah dikenal sebagai seorang laksamana yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Karaeng Sangunglo
Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, Makassar. Dari catatan sejarah dan kesaksian seorang Inggris, Sanguanglo terkubur jauh di seberang Laut Sahilan.
Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris. Ayah Karaeng Sangunglo adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) dan ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).
Daeng Mangalle

Daeng Ma-Alee  merupakan tokoh Pembangkang Raja Siam Phra Narai (1686). Daeng Mangalle bergabung dalam konspirasi menyingkirkan raja Siam Phra Narai karena telah bersekutu dan menempatkan kepercayaan pada orang Prancis dan Portugis yang membawa misi mengembangkan agama baru, kemungkinan lebih buruk lagi raja akan berpindah memeluk agama baru.
Daeng Mangalle dan orang-orang Makassar mengadakan perlawanan menghadapi serdadu Prancis dan Portugis. Raja Siam memerintahkan serangan besar-besaranan ke perkampungan orang Makassar, tapi beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi perlawanan orang Makassar.
Peristiwa di Siam ini menjadi sejarah kelam dari bentuk perlawanan orang-orang Makassar yang menuntut kebijakan raja Siam yang bersekutu dengan kolonial Eropa. Tercatat pula akan keberanian dan kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap sementara orang Makassar hanya bersenjatakan tombak dan badik.
Lamadukelleng

La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki karena merupakan putera dari Arung Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng melakukan perjalanan panjang menggunakan perahu layar hingga La Maddukelleng memerintah sebagai Sultan Pasir di kerajaan Pasir, Kutai Kalimantan.
Pasukan La Maddukkelleng terkenal memiliki peralatan tempur dalam armada lautnya yang menggetarkan Belanda dan mampu menguasai perairan Sulawesi, Jawa sampai Brunei.
Setelah pertempuran laut yang panjang, La Maddukkelleng kembali dan memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak 

Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak (Perdana Menteri Malaysia) merupakan keturunan langsung dari Karaeng Aji yang juga adalah keturunan langsung Raja Gowa Sultan Abdul Djalil. Ibunya Siti Aminah adalah putri Sultan Bima.
Dalam konflik persaingan tahta kerajaan Gowa, Karaeng Aji tidak mau saling rebut dan pergi merantau meninggalkan Negeri Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang. Di negeri Pahang, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan. Setelah itu, Karaeng Aji kemudian menikahi salah seorang Putri di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana.
Opu Daeng Cella.
Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.
Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja. Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase.
Putra kerajaan inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.
Syekh Yusuf

Syech Yusuf Tajul Khalwati adalah putra dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.
Dalam peperangan melawan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.
Kembali ditangkap Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan.
Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
I Mannindori Karaeng Galesong

Dalam sebuah kemelut di kerajaan Banten, ia turut bergabung bersama Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten) melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1676-1679.
Di Banten, Karaeng Galesong Kawin mawin secara turun temurun itu dan melahirkan keturunan seperti Dr.Wahidin Sudirohusodo, Ir Wardoyo Daeng Majarre, Budiarjo Karaeng Naba, Dr.Ir Siswono Yudo Husodo, sampai ke Setiawan Jodi dan Budiarso (mantan kapolda sulsel).
Daeng Ruru dan Daeng Tulolo 
Daeng Ruru dan Daeng Tullolo adalah dua pangeran keturunan dari kerajaan Gowa yang selamat dalam pertempuran konflik Prancis dan pasukan Daeng Mangalle di Siam 1686. Keduanya dikirim oleh Perancis akhir November 1686 dan mendapat pelayanan khusus kerajaan.
Mereka dididik dalam sekolah perwira angkatan laut Prancis setelah dibaptis dalam iman Kristen dan mendapat gelar kehormatan Louis tahun 1682, gelar ini setara dengan status raja-raja Prancis.

Daeng Ruru bergelar Louis Pierre de Macassar adalah perwira yang sangat disegani dalam armada laut Prancis dan sering ditugaskan untuk membantu negara Eropa lainnya dalam peperangan. Pada tanggal 19 Mei 1708, Daeng Ruru tewas dan tidak diketahui riwayatnya.

Sedang adiknya, Daeng Tulolo bergelar Louis Dauphin de Macassar juga adalah seorang perwira. Dalam iman Kristen yang ditekuninya, ia sempat mendirikan ordo Satria yang disebut ‘Bintang’. Ordo itu diturunkan setelah tahu bahwa pendiri ordo adalah pangeran Makassar yang ternyata telah memeluk agama nenek moyangnya, Islam, dengan alasan poligami.  Berpangkat Letnan muda pada usia 38 tahun dan bertugas di kapal India.
Ketika ia meninggal di Bres 30 November 1736 pada usia 62 tahun, jazadnya dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan. Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest dan jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.
Sultanah Safiatuddin

Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Terjadi pertentangan di kalangan pembesar di Aceh dalam masa penobatannya. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam.
Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama sekitar hampir 35 tahun (1641-1675). Pemerintahan yang begitu lama tentulah dengan segala kebijaksanaan dan kemampuan yang dimiliki seorang wanita Aceh-Bugis.

SHARE THIS

Author: