Di balik
setiap keberhasilan, selalu saja ada kisah tentang mereka yang
setia menebar benih-benih keberhasilan. Di bumi Anging Mammiri, terdapat satu
kisah yang menyentuh hati tentang seorang anak yang tak meninggalkan ibunya
selama lebih 40 tahun, serta kelembutan seorang ibu yang serupa embun dan
mengantarkan anaknya hingga menjadi orang besar dan berpengaruh di negeri ini. Ibu itu adalah Athirah,
ibunda dari Muhammad Jusuf Kalla (Wakil Presiden Republik Indonesia).
Akhir tahun
1940-an, nun jauh di desa Bukaka (Bone, Sulawesi Selatan), seorang ibu tengah
menidurkan putranya. Ibu itu berbaju khas seorang wanita pedesaan. Ia
bersenandung untuk anaknya dengan syair berbahasa Bugis, “Anakku. Semoga engkau
panjang umur dan menjadi orang yang melampaui apa yang dicapai orang dalam
kebaikan.” Ibu itu menatap anaknya
dengan penuh kasih. Langit dan bumi menjadi saksi betapa dirinya amat mencintai
anaknya. Ia kemudian berzikir sembari melepas ribuan harapan agar kelak sang
anak bisa menjadi manusia berguna. Hari itu, di pertengahan bulan puasa, sang
ibu lalu membagikan sarung kepada banyak warga Bukaka, sembari berpesan,
“Doakan supaya Ucu bisa jadi bupati.”
Bone terletak tak jauh dari
pesisir laut Sulawesi. Lelaki Bone adalah para petarung yang menjadikan laut
sebagai arena untuk mengasah kecakapan. Mereka berlayar hingga ke tempat-tempat
yang jauh. Para pelaut Bugis telah lama masyhur dan memijakkan kaki di banyak
tempat, mulai dari tanah Johor hingga Madagaskar. Banyak pula di antara
mereka yang menjadi pedagang dan sukses berniaga di mana-mana.
Salah satu dari
sekian banyak pedagang sukses itu adalah Hadji Kalla. Lelaki asal kampung Nipa
di Bone ini adalah tipikal pedagang tahan banting yang telah berdagang sejak
usia muda. Mulanya ia pedagang biasa di dekat Pelabuhan Bajoe. Selanjutnya, ia merambah ke
bisnis transportasi, perdagangan lintas benua, hingga akhirnya membuka
perusahaan NV Hadji Kalla. Ia kemudian dijodohkan dengan Athirah, perempuan
lembut yang selalu bersenandung untuk anaknya.
Sejarah kemudian mencatat
bahwa sang anak, yang dipanggil Ucu itu, telah jauh melampaui harapan
orangtuanya agar dirinya menjadi bupati. Anak itu menjadi pemilik banyak
perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan orang. Anak itu melangkahkan
sebagai seorang wakil presiden, pada sebuah jabatan yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya. Anak itu telah menjadi pejuang kemanusiaan dan perdamaian,
memberikan banyak kontribusi bagi tanah air dan nusa bangsa.
Tak banyak yang tahu kalau
sukses Hadji Kalla dan putranya Jusuf bersumber dari mata air seorang perempuan
bernama Athirah. Perannya tak kecil. Athirah bukanlah seorang perempuan yang
terpenjara di rumah dan hanya menanti suami sepanjang hari. Athirah adalah seorang
pekerja keras yang punya visi hebat dalam bisnis. Ia sukses mengelola bisnis
kain sutera dengan pelanggan yang tersebar ke mana-mana. Ia pulalah yang
kemudian membimbing Jusuf Kalla memasuki dunia bisnis.
Perempuan itu lahir tahun
1924 di kampung Bukaka, Bone. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan
penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan
sekaligus ibu rumah tangga. Meskipun Athirah dijodohkan
dengan Hadji Kalla pada usia 13 tahun, ia mencintai suaminya sepenuh hati.
Meskipun pendidikan formalnya hanya di level sekolah dasar, ia ikut terjun
dalam bisnis penjualan kain sutra.
Secara rapi ia mencatat
semua pembukuan usaha dalam dua huruf yakni huruf latin dan huruf lontara, yang
digunakan oleh orang Bugis. Ia rutin menghitung hasil penjualannya setiap hari
menjelang tidur dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan
dikelolanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla
dan anak-anaknya. Catatan pembukuan dilakukannya setelah salat subuh.
Visi Athirah sangat kuat.
Jusuf menuturkan bahwa pada pada tahun 1965, bisnis sedang lesu. Beberapa tahun
sebelumnya, Athirah telah memiliki firasat akan iklim bisnis yang akan
terpuruk. Athirah lalu membeli banyak
emas batangan, yang kemudian ditanam di bawah tempat tidurnya. Hanya Hadji
Kalla, Athirah, dan Jusuf sendiri yang tahu posisi emas tersebut. Ketika krisis
ekonomi menghantam dan nilai rupiah terjun bebas, ibunya lalu memerintahkan
Jusuf untuk mengambil emas itu sedkit demi sedikit untuk membayar semua gaji
karyawannya.
Ketika ekonomi membaik,
emas itu kemudian menjadi awal dari usaha NV Hadji Kalla yang lalu mengibarkan
bendera di banyak ranah bisnis. Tanpa visi Athirah, tak akan pernah ada kisah
tentang salah satu kelompok usaha pribumi paling kuat di Sulawesi Selatan.
Pada ayahnya, Jusuf belajar
tentang ketangguhan dalam bisnis serta kemampuan melihat sisi baik dari setiap
masalah. Sedang pada ibunya Athirah, ia belajar bagaimana menjadi seorang
manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya.
Ibunya menitipkan banyak
filosofi kehidupan, yang kemudian menjadi pegangan hidupnya. Kata Jusuf, ibunya
pernah berkata, “Kalau kau sudah naik mobil, lihat orang naik motor, dan kalau
kau naik motor lihat orang naik sepeda. Kamu akan merasa lebih baik dan
mensyukuri hidup. Jangan berpikir bahwa ketika kamu naik motor tiba-tiba iri
saat melihat orang naik Mercy, maka pastilah kamu akan susah tidur.”
Kisah Poligami
Banyak yang bertanya,
mengapa Jusuf Kalla justru tetap setia berkarier dan berbisnis di Makassar?
Mengapa ia tak berpikir untuk berekspansi ke Jakarta lalu membangun usaha besar
di sana?
Pada awal Orde Baru,
banyak pengusaha yang berbondong-bondong ke Jakarta dan memulai bisnis ketika
ekonomi sedang membaik. Tapi Jusuf justru memilih tetapbertahan di Makassar. Ia
juga tak tergoda untuk bekerja di instansi lain setamat kuliah di Fakultas
Ekonomi, Universitas Hasanuddin. Jusuf Kalla bertahan di Makassar demi untuk menemani sang ibu yang saat itu merasa
sendirian.
Satu fakta mencuat bahwa di
balik kisah kesuksesan keluarga itu, terdapat satu kisah mengharukan tentang
prahara keluarga yang dialami Athirah. Tak banyak yang tahu bahwa sejak muda,
Jusuf telah melihat langsung kesedihan ibunya Athirah yang hanya bisa dipendam
sejak ayahnya berpoligami. Tahun 1955 adalah tahun
paling berat bagi Jusuf. Ia menyaksikan kesedihan ibunya yang menjalani
hari-hari serba berubah sejak suaminya menikah lagi. Bapaknya mulai jarang
pulang ke rumah.
Jusuf menjadi tempat bagi
ibunya untuk bercerita banyak hal. Pada Jusuf, ibunya menitipkan semua perasaan
serta kegalauannya. Dalam usia muda, keadaan telah ‘memaksa’ Jusuf untuk
menjadi lelaki dewasa yang mendampingi semua aktivitas ibunya, sekaligus
menjadi ayah bagi empat saudaranya. Sebagaimana halnya wanita
Bugis pada masa itu, Athirah tidak banyak bercerita tentang perasaannya pada
sang suami. Ia lalu mengalihkan energinya pada usaha yang dikelolanya. Ia
menjadi amat kreatif dan selalu bergerak untuk membesarkan usaha. Ia aktif
berorganisasi di Muhammadiyah. Ia juga mengajak anak
lelakinya Jusuf untuk terjun langsung dan mengawal banyak usaha. Hingga
akhirnya, Hadji Kalla pun memercayakan Jusuf untuk menangani semua unit usaha
lainnya. Di tahun 1982, Athirah meninggal dunia dalam pelukan Jusuf. Tiga bulan
setelahnya, Hadji Kalla juga meninggal saat menyadari kesedihan istrinya sejak
dirinya berpoligami.
Selama 40 tahun, Jusuf
menjadi sahabat terdekat sekaligus tempat bercerita ibunya yang membesarkan
semua anaknya. Semua kearifan itu diserap dan diterapkannya ketika
mengembangkan bisnis NV Hadji Kalla dan melebarkannya di kawasan Indonesia
timur.
Peran besar Athirah pada
Jusuf, mengingatkan saya pada syair Kahlil Gibran: “Ibu adalah segalanya,
dialah penghibur di dalam kesedihan. Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan
pemberi kekuatan di dalam kelemahan. Manusia yang kehilangan ibunya berarti
kehilangan jiwa sejati yang memberi berkat dan menjaganya tanpa henti…”
Sumber : Kompasiana.com