Sosok Ulama Kharismatik, inilah perjalanan Imam Lapeo dalam mengajarkan Islam di Tanah Mandar


K.H. Muhammad Thahir adalah sosok seorang ulama kharismatik yang lahir di Pambusuang (Polewali Mandar - Sulawesi Barat) pada tahun 1838 M. Ayahandanya bernama H. Muhammad bin Abd. Karim bin Aba Talha, sedangkan ibunya bernama Siti Rajiah. Beliau seorang imam di Desa Lapeo (hingga lebih dikenal dengan sebutan Imam Lapeo) yang sederhana dan menyebarkan agama islam dari tanah Mandar sampai ke tanah Bugis.

Artikel lainnya :
Jarang dimuat dalam buku sejarah, inilah fakta bahwa Kerajaan Gowa ternyata kerajaan terbesar di Nusantara
Kisah Bung Karno yang akan membangun Indonesia dengan 10 Pemuda dan Habibie hanya dengan 500 juta dollar
Nyata dan unik, inilah bekas bangunan Gereja yang kini menjadi Masjid di London Inggris

Pada masa kecilnya, oleh kedua orang tuanya memberikan nama Junaihim Namli. Beliau dikenal masyarakat sebagai anak yang patuh dan taat kepada orang tua, beliau dikenal jujur, pemberani, dan punya kemauan yang sangat keras. Berlatar belakang keluarga yang taat beragama, membawa berpengaruh yang sangat besar dalam proses perkembangan jiwa K.H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sejak kecil.
Di usianya yang masih kecil Junahim Namli senang belajar agama islam dan telah khatam Al Quran beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya. Menjelang usia remaja, beliau lebih memperdalam bahasa Arab seperti nahwu syaraf di Pambusuang. Lalu dia pergi ke Pulau Salemo menimba dan menambah ilmu-ilmu agama Islam.

Beberapa tahun ia tinggal disalemo, kemudian beliau pergi ke Padang (Sumatra Barat) dan hingga melanjutkan perjalanannya ke Mekah menuntut ilmu agama. Di Mekah, beliau mendatangi ulama besar memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi dan lain-lain.

Pada umur 27 tahun beliau dinikahkan oleh gurunya Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail (Puang Towa) dengan seorang gadis bernama Nagaiyah. Pada pernikahan inilah nama Junahim Namli diganti oleh gurunya menjadi Muhammad Thahir.

Namun dalam kehidupannya, Imam Lapeo telah menikah sebanyak enam kali dengan istri-istri yang berasal dari keluarga elit dalam masyarakat Mandar. Tentunya pernikahan ini didasarkan kepada kesadaran beliau bahwa menikah dengan bersandarkan syariat Islam adalah merupakan strategi dakwah yang sangat efektif dalam mengembangkan dan atau menyebarkan agama Islam.

Perkembangan islam di Tanah Mandar berawal saat beliau mengajak masyarakat sekitar untuk membangun masjid. Namun dalam hal ini, kenyataannya tak semudah dibayangkan karena beliau harus berhadapan masyarakat Mandar yang gemar perjudian dan mabuk-mabukkan dengan minuman Manyang Pai’ (Tuak).

Berbagai cara dan upaya telah dilakukannya beliau untuk menyampaikan dan mewujudkan risalah dan nilai-nilai Islam yang benar kepada ummat Islam di Mandar. Imam Lapeo juga sering bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keinginan. Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan.


Hingga akhirnya Imam Lapeo sukses dalam dakwahnya menyadarkan perilaku-perilaku buruk masyarakat mandar dulunya dikenal dengan ilmu magic, animisme dan kemusyrikannya. Sehingga mereka bertaubat, dan inilah yang menjadi salah satu alasan nama masjid yang dibangunnya yaitu Masjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan namanya Masjid Nuruttaubah Lapeo.


Imam Lapeo wafat pada usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah.

SHARE THIS

Author: