Memang
berbeda perantau jaman sekarang dengan jaman dulu…
Dalam
masyarakat Sulawesi Selatan, merantau dikenal dengan istilah "Sompe".
Kata passompe secara etimologi berasal dari bahasa Bugis yang artinya berlayar,
karena pada jaman tersebut yang dipakai sebagai kendaraan adalah perahu yang
memakai layar (sompe). Makanya perantau jaman sekarang mungkin tidak tepat lagi
disebut sebagai "Passompe". Mungkin lebih tepat disebut
"Pakkappala" atau perantau yang menggunakan kapal motor atau kapal pesiar.
Artikel lain :
Berhentilah dengan kebiasaan berikut, ini akan membuatmu miskin seumur hidup
Hati-hati menghukum anak, inilah cara yang efektif menghukum jika anak bandel
Beberapa cara yang bisa diterapkan untuk membentuk kecerdasan anak sejak bayi
Artikel lain :
Berhentilah dengan kebiasaan berikut, ini akan membuatmu miskin seumur hidup
Hati-hati menghukum anak, inilah cara yang efektif menghukum jika anak bandel
Beberapa cara yang bisa diterapkan untuk membentuk kecerdasan anak sejak bayi
Bukan
hanya perbedaan kendaraan untuk sompe tapi prinsip "Passompe" sudah jarang
dikenal oleh generasi sekarang, padahal sejarah telah mencatat keberhasilan
para passompe jaman dulu, sebut saja. Syech Yusuf, Karaeng Galesong (kakek
Wahidin Sudirohusodo/pencetus Kebangkitan Nasional), Hang Tuah, Hang Jebat.
Raja Ali Haji (penyair Gurindam duabelas), Lamaddukelleng Bajak laut dan
melahirkan keturunan raja raja di Kutai dan Pasir. Bahkan dalam kepustakaan
Melayu terkisahkan beberapa sultan dan pembesar Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar,
seperti Sultan Johor, Selangor, Trengganu, dan Pahang. Dikenal pula Daeng
Mangalle Tokoh Pembangkang Raja Siam (Muang Thai) Phra Narai (1686), juga
dikenal Daeng Toulolo, Daeng Ruru yg menjadi panglima perang di Prancis.
Perantau
zaman dulu memegang prinsip dimanapun di muka bumi ini dipijak, di situlah
tanah airnya. Bagi mereka menjadi To Sulawesi (Bugis,Makassar,Mandar dan
sebagainya) tidak sekedar berada di Jasirah Tanah Sulawesi, tapi begitu pula di
tanah rantau. Karena itulah mereka bentangkan layar dari Australia hingga Madagaskar,
dari kepulauan Formosa hingga Cafe town. Di tempat2 yang disinggahi akan diberi
warna "kesulawesian" agar merasa tidak pernah jauh dari nuansa sosial
budayanya, makanya dikenal istilah, Kampung Bugis, Kampung Makassar dan
sebagainya.
Passompe
jaman dulu memegang prinsip “tellu cappa" alias tiga ujung untuk sukses di
tanah rantau yaitu menggunakan ujung lidah (diplomasi), ujung kemaluan (perkawinan)
dan ujung badik (keberanian). Kalau passompe generasi sekarang mungkin perlu
ditambahi satu ujung lagi yaitu "ujung pena". Namun jika tiga ujung
ini tidak berhasil maka pilihannya adalah ujung yang ke empat, yaitu kembali ke
Tanah Ujung (pantai dimana dia berasal). Kembali ke tanah ujung bukan pilihan
yang terhormat bahkan bisa jadi cemohan sebagai pecundang, makanya kita sering mendengar
passompe tdk akan pulang sebelum berhasil.
Itulah
mungkin yang menjadi spirit bagi passompe untuk berhasil di rantau, sekali
layar terkembang pantang biduk surut ke pantai...
Berikut
sepenggal syair lagu passompek.
Pura
janci ri aleku
Singkeruk
ri atikku
Iyapa
ulisu mattana Ugi, uruntukpi usappaE..
O..indo
ambo malebbiku aja tapettu rennuang
Marellau
ri PuangE natepu minasata..
Akhir
kata semoga prinsip passompe masa lalu bisa menjadi spirit untuk kita
di rantau