Menjadi warisan budaya dunia, inilah karya sastra La Galigo masyarakat Bugis yang menjadi kitab terpanjang di dunia

La Galigo adalah karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia yang setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India serta sajak-sajak Homerus dari Yunani. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan dari berbagai negara menyebutnya sebagai karya sastra terpanjang di dunia, terdiri dari 300.000 baris, mengalahkan Mahabharata dan yang lainnya.

Artikel lain :
Inilah fakta ilmiah tentang khasiat berpuasa di bulan Ramadhan yang jarang diketahui  
Inilah sosok Imam Masjid yang merupakan mantan anggota Mafia di Jepang  
Inilah alumni Unhas yang sukses menjadi nominasi penerima penghargaan Nobel 2016  
La Galigo, merupakan salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis.
Konsep islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik.
Sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). Orang Bugis biasa menyebutnya Dewata Sisinae. Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata Seuwae ini dapat dilihat pada masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi seiiring masuknya islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae dengan konsep AllahSubhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pengucapan doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis.
Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tidak boleh dibaca tanpa didahului sebuah ritual tertentu seperti menyembelih sapi. Umumnya naskahnya dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan, atau doa tolak bencana.

SHARE THIS

Author: