“Tuhan itu tidak ada. Tidak seorang pun bisa
membuktikan keberadaan Tuhan. Kalaupun ada, Tuhan hanya ada dalam pikiran
manusia. Kalian yang meyakini Tuhan ada, coba tunjukkan di mana Tuhan?,” kata
Profesor atheis di depan mahasiswanya. Semua terdiam. Beberapa mahasiswa
berusaha melirik teman di sebelahnya untuk melihat apakah ada yang akan
menjawab pertanyaan itu.
Artikel lain :
Inilah bekas bangunan Gereja yang kini menjadi Masjid di London Inggris
Inilah bukti sejarah jejak Suku Bugis-Makassar di Bumi Serambi Mekah
Inilah salah satu bukti peradaban tinggi masyarakat Bugis dan Makassar
Artikel lain :
Inilah bekas bangunan Gereja yang kini menjadi Masjid di London Inggris
Inilah bukti sejarah jejak Suku Bugis-Makassar di Bumi Serambi Mekah
Inilah salah satu bukti peradaban tinggi masyarakat Bugis dan Makassar
Beberapa detik berlalu, ruang kuliah hening.
Sang profesor tersenyum simpul. Puas karena tak seorang pun dapat membantah
pernyataannya. Namun... seorang mahasiswa mengangkat tangannya.
“Maaf, Prof,” ucapnya memulai. Ketika dosen
itu mempersilakan dengan isyarat, ia meneruskan kata-katanya. “Apakah Profesor
punya akal?”
Wajah sang profesor mendadak berubah. Sedikit
merah. Pertanyaan itu, meskipun disampaikan dengan nada yang santun, baginya
merupakan penghinaan.
“Tentu saja punya. Kalau tidak punya akal,
tidak mungkin aku mengajar kalian, tidak mungkin aku menjadi profesor, tidak
mungkin aku bisa menghasilkan karya ilmiah yang demikian banyak.”
“Kalau demikian, mohon tunjukkan di mana akal
Profesor,” wajah profesor bertambah merah. Ia seperti dipermainkan oleh
mahasiswanya itu.
“Profesor,” lanjut sang mahasiswa, “tidak semua
yang ada harus kelihatan. Tidak semua yang ada bisa dibuktikan secara indrawi.
Jika akal Profesor saja tidak bisa ditunjukkan, demikian juga Tuhan. Tuhan ada.
Tetapi kita tidak bisa melihatnya.”
Profesor itu terdiam untuk beberapa saat. Lalu
ia mengemasinya bukunya dan meninggalkan ruang kuliah.