Pada zaman dahulu, setiap
kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama Dalam sejarah kerajaan
Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, ada 5 orang cendekiawan yang terkenal, yakni
Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone), Nene’ Mallomo (cendekiawan kerajaan
Sidenreng), Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng), La Megguk (cendekiawan
kerajaan Luwu) dan Puang ri Maggalatung (cendekiawan kerajaan Wajo).
Para cendekiawan kerajaan
juga berfungsi untuk menghasilkan karya yang dapat dijadikan pedoman dalam
membangun kerajaan/masyarakat ke arah yang lebih baik. Pedoman tersebut lebih
dikenal dengan istilah pangadereng.
Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah wawasan seiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di Cenrana. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.
Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah wawasan seiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di Cenrana. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.
Artikel lainnya :
Kesederhanaan Baharuddin Lopa, adalah sosok hakim pemberani dan bijaksana yang pernah dimiliki Indonesia
Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat okum. Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (okum tidak mengenal anak cucu).
Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat okum. Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (okum tidak mengenal anak cucu).
Nene’ Mallomo merupakan
salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di bumi Sidenreng Rappang yang kemudian
menjadi ikon Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan Sidenreng sekitar abad
ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Ada
juga yang menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja
La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M
di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi
kerja adalah Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata.
Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi
seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang
maksudnya bahwa Nene’Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul.
Nene, Mallomo merupakan seorang laki-laki, walaupun kata nene’ menunjuk pada
istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata
Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.Nama asli Nene’Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’Mallomo adalah La Makkarau. Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya. Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu Ade Temmakkeana Temmakkeappo, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.