Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi
yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung)
atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan
sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal
to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini.
Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul
keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti
orang Bugis.
Artikel lainnya :
Mengenal tradisi budaya “Mattojang”, yang kini jarang dijumpai dalam masyarakat Bugis
Tidak hanya ada di Mesir, inilah sosok mumi yang ada di Wamena Papua
Baca-baca Cenning Rara pemikat hati orang Bugis Makassar
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama
kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi
Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada
raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut
dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara
dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai
dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,
Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.